Jumat, 18 Desember 2015

Metode Mengasah Kecerdasan Spiritual Aud



Danah Zohar, menilai bahwa kecerdasan spiritual merupakan bentuk kecerdasan tertinggi yang memadukan kedua bentuk kecerdasan sebelumnya, yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang tertinggi karena erat kaitannya dengan kesadaran seseorang untuk bisa memaknai segala sesuatu dan merupakan jalan untuk bisa merasakan sebuah kebahagiaan. Meskipun kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang paling tinggi, ternyata ia juga dibangun dari dua kecerdasan sebelumnya, yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam memandang makna atau hakikat kehidupan ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang berkewajiban menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-nya.
Dr. Arief Rachman menggambarkan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut:
            Pertama, kecerdasan yang meyakini Tuhan sebagai Penguasa.Misalnya, tingkatan spiritual yang hidup. Untuk mendapatkan tingkatan kecerdasan spiritual ini anak harus diajarkan mengenal Tuhannya, mengenal penciptanya melalui ciptaan-Nya. Hal-hal yang membuat anak terpesona kita bingkai dengan koridor mengenal Tuhan sebagai pencipta. Dengan ini dilakukan, secara perlahan kematangan spiritual akan tertanam pada diri anak.
Kedua, tingkatan spiritual yang sehat. Untuk mendapatkan tingkatan kecerdasan spiritual ini, orangtua harus mengajarkan anak untuk berkomunikasi yang baik dengan pencipta, yaitu dengan melatih mengerjakan ibadah-ibadah wajib sejak usia dini, membiasakan diri untuk selalu mengingat nama-Nya dalam setiap kejadian yang ditemuinya. Misalnya kebiasaan selalu berdoa ketika akan beraktifitas, dan selalu bersyukur akan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya.
Ketiga, tingkatan bahagia secara spiritual. Untuk mendapatkan kecerdasan ini, anak sejak dini dilatih untuk mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan keagamaan dengan penuh suka cita.

2
Keempat, damai secara spiritual, bentuk kecerdasan tingkatan ini dapat dilatih dengan mengajarkan kepada anak bahwa bentuk kecintaan yang ada di dunia ini tidak melebihi terhadap bentuk kecintaannya terhadap Tuhan sebagai Penciptannya.
Kelima, arif secara spiritual. Pada tingkatan ini seseorang akan membingkai segala aktivitasnya adalah sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan, sehingga segalanya memiliki makna.
Menurut Wahyudi, menyatakan agar fitrah kecerdasan spiritual anak TK senantiasa terjaga dan terpelihara serta berkembang dengan sempurna,maka anak harus mendapat pendidikan dan bimbingan  yang di landasi  oleh nilai-nilai kemuliaan  dan  akhlak  yang  baik. Dengan mengetahui kecerdasan spiritual kita bisa membimbing anak kita ke arah yang baik. Kita bisa mendidik anak dengan:
a) Mengenal keesaan Allah
b) Mengenal kebesaran Allah
c) Mencintai Allah
d) Berdoa  setiap  hari
e) Belajar shalat
f) Mencintai binatang
g) Mencintai tumbuhan
h) Jujur
 i) Sopan
 j) Sabar.

B.     Proses Melatih kecerdasan Spiritual pada anak usia dini
Menurut siswanto (2010) Yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual yaitu melalui:
1) Cinta dan kasih sayang yang meliputi berprilaku saling hormat menghormati dan menyayangi ciptaan tuhan.
2). Percaya diri yang meliputi berani tampil didepan kelas, memiliki rasa banggga terhadap hasil kerjanya, berani mengungkapkan pendapatnya, dan berani mempertahankan pendapatnya.
3). Mandiri yang meliputi mengerjakan pekerjaannya sendiri, makan sendiri, melaksanakan tugas yang diberikan sampai selesai, memakai sepatu sendiri dan menyimpan tas sendiri dilokernya.
3
4).   Kebersihan   yang   meliputi   menjaga kebersihan  pakaian di sekolah, membuang sampah pada tempatnya, mencuci tangan sebelum  makan,  tidak  mencoret-coret tembok sekolah, mengembalikan mainan pada tempatnya setelah digunakan.
Ø  Proses melatih kecerdasan spiritual pada anak usia dini antara   lain :
a.         Melalui teladan dalam bentuk nyata yang diwujudkan dalam perilaku baik lisan, tulisan maupun perbuatan
b.        Melalui cerita atau dongeng untuk menggambarkan perilaku baik buruk
c.         Mengamati berbagai bukti-bukti kebesaran Sang Pencipta seperti beragam binatang dan aneka tumbuhan serta kekayaan alam lainnya
d.        Mengenalkan dan mencontohkan kegiatan keagamaan secara nyata
e.         Membangun sikap toleransi kepada sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Ø  Untuk melatih kecerdasan spiritual pada anak dapat dilakukan dengan cara:
Pertama, memberikan bantuan kepada anak untuk merumuskan tujuan hidupnya, baik tujuan hidup jangka pendek maupun tujuan hidup jangka panjang.
Kedua, sesering mungkin orangtua menceritakan kisah-kisah yang agung, kisah yang menarik dan mengesankan, seperti kisah para Rasul, atau pahlawan lainnya.
Ketiga, mendiskusikan segala persoalan dengan perespektif ruhaniyah.
Keempat, sering melibatkan anak dalam ritual kegaamaan, seperti dilatih sejak kecil untuk sholat berjamaah bagi anak laki- laki, selalu membaca doa dan yang terpenting adalah pemaknaan dari kegiatan tersebut.
Kelima, membawa anak kepada orang yang menderita, kematian. Mengunjungi orang yang menderita akan membuat anak peka terhadap sesama sehingga mendorong anak untuk berbuat baik terhadap orang lain.






Selasa, 15 Desember 2015

Konsep Penegembangan Nilai Agama Dan Moral Anak Usia Dini



KONSEP PENEGEMBANGAN NILAI AGAMA DAN MORAL ANAK USIA DINI
A.    Perkembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Seiring dengan perkembangan sosial, anak-anak usia prasekolah juga mengalami perkembangan moral. Adapun yang dimaksud dengan perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang buruk, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Selain kecerdasan yang ada, kecerdasan yang mendasari seluruh kecerdasan yaitu cerdas spiritual. Karena anak yang shaleh (cerdas spiritual), maka dia pasti cerdas. Sementara anak yang cerdas belum tentu shaleh. Dalam hal keshalehan ini yang perlu dilakukan orang tua adalah bagaimana agar anak memiliki akhlakul karimah (akhlak mulia), dapat dipercaya, memegang teguh prinsip kebenaran dan cerdas.
Keyakinan akan adanya sang pencipta atau Tuhan sebagai causa prima sangat membantunya dalam membentuk pribadi yang baik.
Agama sebagian besar tidak berarti bagi anak-anak meskipun mereka menunjukkan minat dalam ibadah agama, tetapi karena banyaknya masalah yang kepada anak-anak dijelaskan dalam rangka agama seperti kelahiran, kematian dan lain-lain, maka keingintahuan mereka tentang masalah-masalah agama menjadi besar sehingga mereka mengajukan banyak pertanyaan. Anak-anak menerima jawaban terhadap pertanyaan mereka tanpa ragu-ragu, sebagaimana sering dilakukan oleh anak yang lebih besar dan dewasa.
Keyakinan pada sang pencipta adalah hal penting yang harus diberikan kepada anak. Hal penting yang perlu dipertanyakan sebagai orang tua adalah; mampukah orang tua melahirkan generasi baru, anak-anak kita, yang kreatif, cerdas dan mengakselerasikan intelegensinya; memiliki intregitas spiritual dan moral sekaligus.

B.     Konsep-konsep Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini
Semua manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat ”laten”. Potensi bawaan ini yang memerlukan pengembangan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1.      Prinsip Biologi
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2.      Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sakali tidak berdaya untuk mengurus diriya sendiri.
3.       Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pertimbangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.
Ada beberapa teori timbulnya jiwa keagamaan anak, yaitu:
Ø  Rasa Ketergantungan (sense of depende)
Manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experimence), keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
Ø  Instink keagamaan
Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink, diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Dengan demikian pendidikan agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun. Artinya, jauh sebelum usia tersebut, nilai-nilai keagamaan perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Nilai keagamaan itu sendiri bisa berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan atau hubungan antar-sesama manusia.
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.      Unreflective (tidak mendalam)
Mereka mempunyai anggapan atau menerima terhadap ajaran agama dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya.
3.      Anthromorphis
Konsep ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagaimana layaknya orang mengintai. Pada anak usia 6 tahun, pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut: Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar, Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun. Konsep ketuhanan yang demikian mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
4.      Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari Amalia yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Perkembangan agama pada anak Sangay besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kayak-kanak mereka. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat rutinitas (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak. 
5.      Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan shalat, misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat realitas di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Dalam segala hal anak merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.      Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir ada pada anak. Rasa kagum yang ada pada anak sangat berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa. Rasa kagum pada anak-anak ini belum bersifat kritis dan kreatif, sehingga mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal suatu pengalaman yang baru (new experince). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub pada anak-anak. Dengan demikian kompetensi dan hasil belajar yang perlu dicapai pada aspek pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, menganal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama manusia.
]