Selasa, 15 Desember 2015

Perkembangan Spiritual Peserta Didik





Perkembangan  Spiritual Peserta Didik
A.    Pengertian Perkembangan  Spiritual Peserta Didik
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan spiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggung jawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru.. Sedangkan ingersol dalam Desmita (2009:264) menyatakan, spiritualitas sebagai wujud karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam berhubungan atau bersatu dengan tuhan.
Sehingga dapat diartikan bahwa, kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agreeindisagreement), dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari kuti-kutipandiatas penulis memilih judul proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik karena, proses merupakan suatu hal yang sangat penting, dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak dan akhirnya.
B.      Makna Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Echoks dan Shadily dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwa, semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat (vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata latinspiritualis yang berarti ”of the spirit” (kerohanian)
Menurut Aliah dan purwakaniahasan dalam Desmita (2009:265) menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas,  dengan kata kunci sebagai berikut :
1.      Meaning(makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
2.      Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang dihargai.
3.       Transcendence (transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang.
4.       connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
5.       Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan     pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagai mana seseorang mengetahui.

Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya sebagai apapun.                                            

C.    Karakteristik Perkembangan Spiritual
1.      Karakteristik perkembangan spiritualitas anak usia sekolah
Tahap mythic-literalfaith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler dalam desmita (2009:281), berpendapat bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan kategori -kategori baru. Pada tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif.
Sebagai anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkret, seperti tuhan itu satu,tuhan itu amat dekat, tuhan ada di mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
2.      Karakteristik perkembangan spiritualitas remaja
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya keyakinan agama  remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada awal masa anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman terhadap keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya. Mungkin mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut Muhammad Idrus dalam Desmita (2009:283), pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti baginya (significantothers) dan dengan mayoritas lainya.
D.    Perkembangan Spiritual Terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan spiritual, pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang religius. Sejatinya pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali manusianya agar bisa survaydan berguna dalam masyarakat (Elmubarok,2008:30).
Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan spiritual peserta didik yaitu sebagai berikut:
1.      Memberikan pendidikan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer agama secara keseluruhan.
2.      Menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan.
3.      Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual paranting,seperti:
a.       Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
b.      Menanyakan kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
c.       Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila   kita meminta.
d.      Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun (Desmita,2009:287). 
E.     Proses Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Teori Fowler dalam Desmita (2009:279) mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah:
1.      Tahap prima faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak  dan pengasuhnya.
2.      Tahap intuitive-projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan serta gambaran intuitif  dan proyektifnya pada ilahi.
3.       Tahap mythic-literalfaith, Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas. 
4.      Tahap synthetic-conventionalfaith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral. Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik    
5.      Tahap individuative- reflectivefaith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan:
a.       Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.      Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri. 
6.      Tahap Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang. 
7.       Tahapuniversalizingfaith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.
F.     Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Spiritual
1.      Pembawaan (internal)
Setiap manusia yang lahir, baik yang masih primitif, bersahaja, maupun yang sudah modern, baik yang lahir di Negara komunis maupun kapitalis, baik dari orang tua yang saleh maupun yang jahat, menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia memiliki fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat maupun yang mudhorot (mencelakakan). Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari rasul dan Allah SWT, sehingga fitrah itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT.
2.      Lingkungan (eksternal)
Fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar yang memberikan stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang sebaik-baiknya.
Ø  Keluarga
      Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak aleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam mengembangkan fitrah beragama, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian orang tua, sebagai berikut :
1.      Sebaiknya orang tua memiliki kepribadian yang baik atau berakhlakulkarimah. Kepribadian orang tua merupakan unsur- unsur pendidikan yang tidak langsung memberikan pengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak.
2.      Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan baik
3.      Orang tua hendaknya membina hubungan yang harmonis antara anggota keluarganya
4.      Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan, atau melatihkan ajaran perkembangan kepribadian agama terhadap anaknya
Ø  Sekolah
      Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orang tua. Dalam upaya mengembangkan fitrah beragama para siswa, sekolah terutama guru agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan pengamalan ibadah atau akhlak mulia, maka guru agama hendaklah memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Kepribadian yang mantap, seperti jujur, bertanggung jawab, komitmen terhadap tugas, disiplin dalam bekerja dan respek terhadap siswa
2.      Menguasai disiplin ilmu terutama bidang yang akan diajarkan, minimal materi yang terkandung dalam kurikulum
3.      Memahami ilmu-ilmu lain yang relevan untuk menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar.
Ø  Masyarakat
Implikasi Tugas Perkembangan Remaja dalam Penyelenggaraan Pendidikan
1.      Tugas-tugas perkembangan remaja
2.      Tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam rentang kehidupan manusia, apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya, sementara apabila gagal maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan menimbulkan kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya.
3.       Tugas perkembangan berkaitan dengan sikap, perilaku dan keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh individu
Munculnya tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor :
1.      Kematangan fisik, misalnya, belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, belajar bertingkah laku dan bergaul sesama jenis atau dengan lain jenis karena kematangan organ-organ seksual
2.      Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya belajar membaca, belajar menulis, belajar berhitung, belajar berorganisasi
3.      Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri, misalnya memilih pekerjaan, memilih tema
4.      Tuntutan norma agama, misalnya taat beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama manusia.
Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar