Perkembangan Spiritual Peserta
Didik
A. Pengertian
Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran
individu akan makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara
kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang
utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan spiritual
merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup,
serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan
makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu
menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri
secara bertanggung jawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta
memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru.. Sedangkan ingersol
dalam Desmita (2009:264) menyatakan, spiritualitas sebagai wujud karakter spiritual,
kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam berhubungan atau bersatu dengan
tuhan.
Sehingga dapat diartikan bahwa,
kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang
yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa
jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agreeindisagreement),
dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality"
(keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari
kuti-kutipandiatas penulis memilih judul proses perkembangan moral dan
spiritual peserta didik karena, proses merupakan suatu hal yang sangat penting,
dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak dan akhirnya.
B.
Makna
Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Echoks dan Shadily dalam Desmiata
(2009:264) berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu
”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwa,
semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata
spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atau
dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy
atau semangat (vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari
kata latinspiritualis yang berarti ”of the spirit” (kerohanian)
Menurut Aliah dan purwakaniahasan dalam
Desmita (2009:265) menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna
pribadi yang luas, dengan kata kunci sebagai berikut :
1.
Meaning(makna). Makna
merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi,
memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
2.
Values (nilai-nilai).
Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang dihargai.
3.
Transcendence
(transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan
terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang.
4.
connecting (bersambung).
Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri,
orang lain, tuhan dan alam.
5. Becoming (menjadi).
Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi
dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagai mana
seseorang mengetahui.
Dari kutipan diatas dapat diartikan
bahwa perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan
memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang lain, tuhan dan
alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri
seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut
spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup,
tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai
manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya sebagai apapun.
C.
Karakteristik
Perkembangan Spiritual
1.
Karakteristik
perkembangan spiritualitas anak usia sekolah
Tahap mythic-literalfaith, yang
dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler dalam desmita (2009:281), berpendapat
bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai
berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan kategori -kategori baru. Pada
tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi
masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada
bentuk-bentuk naratif.
Sebagai anak yang tengah berada dalam
tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan memahami
segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ini juga
berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan
demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami
secara konkret, seperti tuhan itu satu,tuhan itu amat dekat, tuhan ada di
mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
2. Karakteristik perkembangan spiritualitas remaja
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak
misalnya keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup
berarti. Kalau pada awal masa anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan
berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka
pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih
mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman terhadap
keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal
anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada
masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya. Mungkin
mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut
Muhammad Idrus dalam Desmita (2009:283), pola kepercayaan yang dibangun remaja
bersifat konvensional, sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai
menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti baginya (significantothers)
dan dengan mayoritas lainya.
D. Perkembangan
Spiritual Terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan spiritual,
pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam
mengembangkan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang
religius. Sejatinya pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental
benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya
menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan
kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali manusianya agar
bisa survaydan berguna dalam masyarakat (Elmubarok,2008:30).
Strategi yang mungkin dilakukan guru di
sekolah dalam membantu perkembangan spiritual peserta didik yaitu sebagai
berikut:
1.
Memberikan
pendidikan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah
sebagai atmosfer agama secara keseluruhan.
2.
Menjadikan
wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya
sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari
pengalaman keberagamaan.
3.
Membantu
peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual
paranting,seperti:
a.
Memupuk
hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
b.
Menanyakan
kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
c.
Memberikan
kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita
meminta.
d.
Menyuruh anak
merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa
mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka
mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka
tidak melihat apapun (Desmita,2009:287).
E. Proses Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Teori Fowler
dalam Desmita (2009:279) mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan
dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional
yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah:
1.
Tahap prima
faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai
dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh
dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang
diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
2.
Tahap intuitive-projective,
yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak
bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan
hasil pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian
berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan
serta gambaran intuitif dan proyektifnya pada ilahi.
3.
Tahap mythic-literalfaith,
Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya,
anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya.
Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau
penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan
jika perlu tegas.
4.
Tahap synthetic-conventionalfaith,
yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan
remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki
lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran
kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja
melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi
kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan
yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral.
Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai
“pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu,
Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.
Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri.
Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja
terhadap sang khalik
5.
Tahap
individuative- reflectivefaith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada
masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan
tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada
tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler
dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan:
a.
Adanya
kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain,
individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.
Mengabaikan
kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif”
sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan
membantunya membentuk identitas diri.
6.
Tahap Conjunctive-faith,
disebut juga paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30
tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi
dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini
seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan
bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan
seseorang.
7.
Tahapuniversalizingfaith, yang
berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan
munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan,
serta adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa
konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap
ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian
kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik
pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan
perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.
F.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Spiritual
1. Pembawaan (internal)
Setiap manusia
yang lahir, baik yang masih primitif, bersahaja, maupun yang sudah modern, baik
yang lahir di Negara komunis maupun kapitalis, baik dari orang tua yang saleh
maupun yang jahat, menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau
keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar dirinya yang
mengatur yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Kenyataan menunjukkan
bahwa manusia memiliki fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai
kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat maupun yang mudhorot
(mencelakakan). Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan
secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari rasul dan Allah SWT,
sehingga fitrah itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT.
2. Lingkungan (eksternal)
Fitrah beragama
merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun
perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar yang
memberikan stimulus yang memungkinkan fitrah itu berkembang sebaik-baiknya.
Ø Keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak aleh karena itu kedudukan
keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam
mengembangkan fitrah beragama, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian
orang tua, sebagai berikut :
1.
Sebaiknya orang
tua memiliki kepribadian yang baik atau berakhlakulkarimah. Kepribadian orang
tua merupakan unsur- unsur pendidikan yang tidak langsung memberikan pengaruh
terhadap perkembangan fitrah beragama anak.
2.
Orang tua
hendaknya memperlakukan anak dengan baik
3.
Orang tua
hendaknya membina hubungan yang harmonis antara anggota keluarganya
4.
Orang tua
hendaknya membimbing, mengajarkan, atau melatihkan ajaran perkembangan
kepribadian agama terhadap anaknya
Ø
Sekolah
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistematik
dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar
mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock pengaruh sekolah
terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan
substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orang tua. Dalam upaya
mengembangkan fitrah beragama para siswa, sekolah terutama guru agama mempunyai
peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan
pengamalan ibadah atau akhlak mulia, maka guru agama hendaklah memiliki
karakteristik sebagai berikut :
1.
Kepribadian
yang mantap, seperti jujur, bertanggung jawab, komitmen terhadap tugas,
disiplin dalam bekerja dan respek terhadap siswa
2.
Menguasai
disiplin ilmu terutama bidang yang akan diajarkan, minimal materi yang
terkandung dalam kurikulum
3.
Memahami
ilmu-ilmu lain yang relevan untuk menunjang kemampuannya dalam mengelola proses
belajar mengajar.
Ø
Masyarakat
Implikasi Tugas Perkembangan Remaja
dalam Penyelenggaraan Pendidikan
1.
Tugas-tugas
perkembangan remaja
2.
Tugas
perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada suatu periode tertentu
dalam rentang kehidupan manusia, apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan
akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya,
sementara apabila gagal maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri
individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan menimbulkan
kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya.
3. Tugas
perkembangan berkaitan dengan sikap, perilaku dan keterampilan yang seyogyanya
dimiliki oleh individu
Munculnya tugas-tugas perkembangan
bersumber pada faktor-faktor :
1. Kematangan fisik, misalnya, belajar berjalan karena
kematangan otot-otot kaki, belajar bertingkah laku dan bergaul sesama jenis
atau dengan lain jenis karena kematangan organ-organ seksual
2. Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya belajar membaca,
belajar menulis, belajar berhitung, belajar berorganisasi
3.
Tuntutan dari
dorongan dan cita-cita individu sendiri, misalnya memilih pekerjaan, memilih
tema
4.
Tuntutan norma
agama, misalnya taat beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama manusia.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar