Rabu, 09 Desember 2015

Timbulnya Jiwa Keagamaan Pada Anak Usia Dini



Timbulnya Jiwa Keagamaan Pada Anak Usia Dini
Masa kanak-kanak adalah masa dimana serang individu mulai dapat berinteraksi dengan individu yang lainya, pada masa inilah sebenarnya masa emas dimana seseorang di perkenalkan dengan agama, karena di masa ini anak yang secara pikiran belum terlalu kritis dalam arti setiap apa yang di berikan oleh orang tuanya akan di terimanaya. Dalam masa perkembangan keagamanya seorang individu, terdapat faktor faktor yang sangat mempengaruhi keagamaanya, faktor itu dapat berasal dari dalam dirinya atau bersal dari faktor luar.
Perkembangan jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal, tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan masa bayi. Walaupun pada saat itu penerimaan pendidikan agama itu belum dapat diberikan secara langsung misalnya dalam kandungan, seorang janin hanya bisa menerima rangsangan atau respon dari sang ibu, ketika ibu sedang sholat mungkin atau mengerjakan perintah – perintah agama lainnya, begitu juga pada saat bayi dilahirkan, ia hanya menerima rangsangan dari luar misalnya pada saat sang bayi di azan kan. nah dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa masa anak – anak bukan lah masa yang paling awal mendapatkan pendidikan keagamaan
      Sekolompok ahli yang berpendapat bahwa timbulnya jiwa keagamaan itu dari lingkungan, karena anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Menurut pendapat ini, anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan bahkan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Pendapat ini lebih melihat manusia dipandang dari segi bentuknya, bukan dari segi kejiwaannya. Ada pula sekolompok ahli yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Namun fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan.
Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:
1.      Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu:
a.       Keinginan untuk perlindungan (security)
b.      Keinginan akan pengalaman baru (new experience)
c.        Keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
d.      Keinginan untuk dikenal (recognation)
Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.      Instink keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru akanberfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.

A.    Perkembangan Agama pada Anak
Melalui penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui  mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.       The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.       The Ralistic Stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
3.      The Ralistic Stage (tingkat kenyataan)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a.       Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b.       Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c.       Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor entern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
B.     Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
1.       Faktor intern (bawaan)
Di masyarakat yang masih primitif muncul kepercayaan terhadap roh-roh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan malapetaka. Agar roh-roh itu tidak berperilaku jahat, maka mereka berusaha untuk mendekatinya melalui saji-sajian (bahasa sunda = sasajen ) yang di persembahkan kepada roh roh tersebut. Bahkan di kalangan modern pun masih ada yang mempunyai kepercayaan kepad hal-hal yang sifatnya tahayul tersebut. Kenyataan di atas membuktikan bahwa manusia itu memiliki fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat maupun yang madharat. Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah (seperti contoh-contoh diatas) dan ada juga yang mendapatkan bimbingan dari para rasul Allah SWT.
2.      Faktor lingkungan (external)
a.       Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai.pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa; ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan. Dalam keluarga hendaknya peran orang tua sangat penting.ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian (perhatian) orang tua sebagai berikut:
1.      Menjadi sosok yang patut di tiru,karena pada masa anak anak ini mereka akan mengidentifikasi sosok yang mereka kenal.
2.      Memberi perlakuan yang baik,sekalipun si anak melakukan kesalahan.
3.      Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan atau melatih ajaran agama terhadap anak.
b.      Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai progam yang sitematik yang melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan yang di harapkan. Menurut hurlock (1959 :561) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak snagat besar, karena sekolah meruapakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
Dalam kaitannya dengan proses pengambanagan keagamaanpara siswa, maka sekolah berperan penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak melalui pelajaran agama.
c.       Lingkungan masyarakat.
Yang di maksud lingkungan masyarakat di sisni adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu. Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.

C.      Sifat-sifat agama pada anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority. Ide keagamaan pada anak sepenuhnya autoritaruis, maksudnya konsep keagamaan pada siri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah terlihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Merekatelah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemashlahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsif dengan eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua  maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah  untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.       Unreflective (tidak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ketuhanan padadiri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dengan demikian, anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidakbegitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikirang untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
3.      Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat.
4.      Verbalis dan ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama padaanak-anaksebagian besar tumbuh mula-mula secaraverbal (ucapan). Mereka mengahapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
5.       Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap, bahwa segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif  dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.       Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada padaorang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.


Daftar pustaka
Jalaluddin, Psikologi Agama Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama.  Jakarta: Kalam Mulia. 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar