Timbulnya Jiwa
Keagamaan Pada Anak Usia Dini
Masa kanak-kanak adalah masa dimana serang individu mulai dapat
berinteraksi dengan individu yang lainya, pada masa inilah sebenarnya masa emas
dimana seseorang di perkenalkan dengan agama, karena di masa ini anak yang
secara pikiran belum terlalu kritis dalam arti setiap apa yang di berikan oleh
orang tuanya akan di terimanaya. Dalam masa perkembangan keagamanya seorang
individu, terdapat faktor faktor yang sangat mempengaruhi keagamaanya, faktor
itu dapat berasal dari dalam dirinya atau bersal dari faktor luar.
Perkembangan jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah
perkembangan yang masih awal, tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun
seorang anak telah mendapatkan sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam
kandungan, masa pranatal dan masa bayi. Walaupun pada saat itu penerimaan
pendidikan agama itu belum dapat diberikan secara langsung misalnya dalam
kandungan, seorang janin hanya bisa menerima rangsangan atau respon dari sang
ibu, ketika ibu sedang sholat mungkin atau mengerjakan perintah – perintah
agama lainnya, begitu juga pada saat bayi dilahirkan, ia hanya menerima
rangsangan dari luar misalnya pada saat sang bayi di azan kan. nah dari situ
kita bisa menyimpulkan bahwa masa anak – anak bukan lah masa yang paling awal
mendapatkan pendidikan keagamaan
Sekolompok ahli yang
berpendapat bahwa timbulnya jiwa keagamaan itu dari lingkungan, karena anak
dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Menurut pendapat ini, anak
yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan bahkan anak seekor kera lebih
bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Pendapat ini lebih
melihat manusia dipandang dari segi bentuknya, bukan dari segi kejiwaannya. Ada
pula sekolompok ahli yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa
fitrah keagamaan. Namun fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari setelah
melalui proses bimbingan dan latihan.
Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara
lain:
1.
Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori
Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat
keinginan, yaitu:
a.
Keinginan untuk perlindungan (security)
b.
Keinginan akan pengalaman baru (new experience)
c.
Keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
d.
Keinginan untuk dikenal (recognation)
Berdasarkan
kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan
hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari
lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.
Instink keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah
memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Misalnya instink
social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius,
baru akanberfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk
berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi
lainnya. Demikian pula instink keagamaan.
A. Perkembangan Agama pada
Anak
Melalui penelitian Ernest
Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui mengatakan bahwa perkembangan agama pada
anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1.
The Fairy Tale
Stage
(tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan
konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.
The Ralistic
Stage
(tingkat kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah
Dasar. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga
mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada
masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
3.
The Ralistic Stage (tingkat
kenyataan)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan
emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep
keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a. Konsep ketuhanan yang
konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b.
Konsep
ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
personal (perorangan).
c.
Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik.
Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran
agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor entern yaitu
perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
B.
Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak
Adapun faktor yang membentuk anak mulai
mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
1.
Faktor
intern (bawaan)
Di masyarakat yang masih primitif muncul
kepercayaan terhadap roh-roh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan
malapetaka. Agar roh-roh itu tidak berperilaku jahat, maka mereka berusaha
untuk mendekatinya melalui saji-sajian (bahasa sunda = sasajen ) yang di
persembahkan kepada roh roh tersebut. Bahkan di kalangan modern pun masih ada
yang mempunyai kepercayaan kepad hal-hal yang sifatnya tahayul tersebut.
Kenyataan di atas membuktikan bahwa manusia itu memiliki fitrah untuk
mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang
bermanfaat maupun yang madharat. Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada
yang berjalan secara alamiah (seperti contoh-contoh diatas) dan ada juga yang
mendapatkan bimbingan dari para rasul Allah SWT.
2.
Faktor lingkungan (external)
a.
Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama
bagi anak oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian
anak sangatlah dominan. Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan
“training centre” bagi penanaman nilai-nilai.pengembangan fitrah atau jiwa
beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu
sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini ini di
dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa;
ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua
(terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan. Dalam keluarga hendaknya peran
orang tua sangat penting.ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian
(perhatian) orang tua sebagai berikut:
1.
Menjadi sosok yang patut di tiru,karena pada
masa anak anak ini mereka akan mengidentifikasi sosok yang mereka kenal.
2.
Memberi perlakuan yang baik,sekalipun si anak
melakukan kesalahan.
3.
Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan
atau melatih ajaran agama terhadap anak.
b.
Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai
progam yang sitematik yang melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan
kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan yang di harapkan.
Menurut hurlock (1959 :561) pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian
anak snagat besar, karena sekolah meruapakan subtitusi dari keluarga dan
guru-guru subtitusi dari orang tua.
Dalam kaitannya dengan proses pengambanagan
keagamaanpara siswa, maka sekolah berperan penting dalam mengembangkan wawasan
pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak melalui pelajaran agama.
c.
Lingkungan masyarakat.
Yang di maksud lingkungan masyarakat di sisni
adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara
potensial berpengaruh terhadap terhadap
perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu. Di
dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman
sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436)
mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan
pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak
perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan
kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau
pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.
C.
Sifat-sifat agama pada anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak
berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka
miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept
on outhority. Ide keagamaan pada anak sepenuhnya autoritaruis, maksudnya
konsep keagamaan pada siri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri
mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah
terlihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Merekatelah
melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan
orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemashlahatan agama.
Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsif dengan
eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama
merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para
orang tua maupun guru mereka. Bagi
mereka sangat mudah untuk menerima
ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran
tersebut. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat
dibagi atas:
1.
Unreflective
(tidak mendalam)
Dalam
penelitian Machion tentang sejumlah konsep ketuhanan padadiri anak 73% mereka
menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dengan demikian, anggapan mereka
terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran
yang mereka terima tidakbegitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan
mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk
akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki
ketajaman pikirang untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
2.
Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak
tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan
pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada
diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Sehubungan dengan hal
itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya
dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
3.
Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ketuhanan pada
anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain.
Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan
aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka
menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat.
4. Verbalis dan ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama padaanak-anaksebagian
besar tumbuh mula-mula secaraverbal (ucapan). Mereka mengahapal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada
mereka.
5. Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang
dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan
shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan,
baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa
menganggap, bahwa segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini
merupakan modal yang positif dalam
pendidikan keagamaan pada anak.
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat
keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada padaorang
dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka
hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah
pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu
yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui
cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
Daftar pustaka
Jalaluddin, Psikologi Agama Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003
Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia. 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar